Copyright © Egoy's Blog
Design by Dzignine
Jumat, 04 Juli 2014

TUGAS IBD 5



Konsep Diri
Suku Jawa




Konsep diri suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap yaitu sopan, segan, menjaga etika berbicara baik secara konten isi dan Bahasa perkataan maupun objek yang disesuaikan dengan objek yang diajak bicara, dan juga tidak suka “langsung-langsung” alias suka menyembunyikan perasaan.

Suku Jawa umumnya lebih suka menyembunyikan perasaan. Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santun sikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakter khas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untuk mencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendak atau keinginan hati.

Suku Jawa memang sangat menjujung tinggi etika. Baik secara sikap maupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya menggunakan Bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan, berbeda dengan Bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupun yang usianya di bawah. Demikian juga dengan sikap orang yang lebih muda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baik terhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam Bahasa jawa Ngajeni.

Suku jawa itu sendiri terdiri dari berbagai macam jenis tergantung pada lokasi daerah mereka berdiam. Biasanya secara lebih khusus lagi, setiap suku Jawa tersebut memiliki ragam kebudayaan yang lebih khas lagi, baik soal Bahasa, adat kebiasaan, makanan khas, dan sebagainya.

          Karakter masyarakat Jawa sangat feodalistik. Pramoedya Ananta, seorang sastrawan kondang, medefinisikannya sebagai ketaatan membabi buta pada kekuasaan. Sisi positifnya, masyarakat jawa masih menghormati raja mereka, dan kedudukan raja bukan sekedar simbolis di era modern ini, melainkan masih memiliki kekuasaan dan kekuatan. Hal ini memungkinkan budaya Jawa dan tradisinya masih terjaga dengan apik hingga hari ini, meski sudah  mengalami banyak pengeroposan juga di sana-sini.
             
         Sisi negatifnya, Jawanisme ini dianggap sebagai biang kerok yang membentuk mental bangsa Indonesia menjadi mental “buruh”. Ia dianggap  penyebab terbesar suburnya kolonialisme  dan imperialism selama berabad-abad, bahkan hingga kini. Masyarakat Jawa yang terlalu mengagung-agungkan kekuasaan dianggap mematikan budaya kritis dengan tetap mendukung  kekuasaan yang pincang, karena mereka cukup nyaman dengan menjadi “penjilat” dan mendapatkan banyak keuntungan dari situ.

Urip Ora Ngoyo

Konsep hidup nerimo ing pandum ( ora ngoyo ) selanjutnya mengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu berambisi. Jalani saja segala yang harus di jalani. Tidak perlu terlalu ambisi untuk melakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat di lakukan. Orang Jawa tidak menyarankan hal tersebut.

Hidup sudah mengalir sesuai dengan koridornya. Kita boleh saja mempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju tersebut jangan terlalu drastis. Perubahan tersebut hanya sebuah improvisasi kita atas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Orang Jawa mengatakan dengan istilah jangan ngoyo. Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Jangan membawa hidup dengan tenagamu!

Bagi orang jawa hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Dia akan membawa kita pada tujuan yang pasti. Orang jawa memposisikan diri sebagai penumpang. Kendaraan atau hiduplah yang membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak membawa kendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan.

Seperti air di dalam saluran sungai, jika mereka mengalir biasa, maka kondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untuk besar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan. Orang Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup jangan ngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. 

Jika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinan besar kita akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya kita akan sakit. Rasa sakit terjadi karena ada pemaksaan terhadap kemampuan sesungguhnya yang kita miliki.

Ciri khas lain yang tak bisa di tinggalkan adalah sifat Gotong royong atau saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebih kentara sifat itu bila kita bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawa di mana sikap gotong royong akan selalu terlihat di dalam setiap sendi kehidupannya baik itu suasana suka maupun duka. 

Pola kehidupan orang jawa memang telah tertata sejak nenek moyang. Berbagai nilai luhur kehidupan adalah warisan nenek moyang yang adi luhung. Dan, semua itu dapat kita ketahui wujud nyatanya. Bagaimana eksistensi orang jawa terjaga begitu kuat sehingga sampai detik ini pola-pola tersebut tetap diterapkan dalam kehidupan.
 
Pola hidup kerjasama ini dapat kita ketemukan pada kerja gotongroyong yang banyak diterapkan dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa sangat memegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuh kesadaran dan tanggung jawab.

Kita harus mengakui bahwa kehidupan orang jawa memang begitu spesifik. Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan yang ada di dunia, orang Jawa mempunyai pola hidup yang berbeda. Kebiasaan hidup secara berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekat satu dengan lainnya, sehingga saling menolong merupakan sebuah kebutuhan.
Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Bahkan dengan segala cara mereka ikut membantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi jika sesaudara atau sudah menjadi teman.

Ngajeni Pada Orang Yang Lebih Tua

Dan, yang tidak dapat kita abaikan adalah sikap hidup orang Jawa yang menejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksi antar personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala kata dan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain.

Mereka begitu menghargai persahabatan sehingga eksistensi orang lain sangat dijunjung sebagai sesuatu yang sangat penting. Mereka tidak ingin orang lain atau dirinya mengalami sakit hati atau terseinggung oleh perkataan dan perbuatan yang dilakukan sebab bagi orang Jawa, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono artinya, harga diri seseorang dari lidahnya (omongannya), harga badan dari pakaia
           
Sumber :  
  1. http://www.anneahira.com/jawa.htm
  2. https://www.google.co.id/search?newwindow=1&biw=1525&bih=734&tbm=isch&sa=1&q=suku+jawa&oq=suku+jawa&gs_l=img.3..0l6j0i5l4.4865.7425.0.8087.9.9.0.0.0.0.225.928.7j1j1.9.0....0...1c.1.48.img..0.9.913.ZrD9Ybv7pG0#facrc=_&imgdii=_&imgrc=0sCEuU_ONrAuBM%253A%3BebqAomMaBqudqM%3Bhttp%253A%252F%252Findrianikhalid06.files.wordpress.com%252F2011%252F05%252Forang-jawa.jpg%3Bhttp%253A%252F%252Findrianikhalid06.wordpress.com%252F2011%252F05%252F04%252Fsuku-jawa%252F%3B400%3B203  

0 komentar:

Posting Komentar